RAHIM PUTRA WAJO





MEMPERKUAT BUDAYA, MEMBANGKITKAN INDONESIA 1
oleh Abd Rahim 2

dengan seni, hidup menjadi indah.
dengan budaya lokal, nusantara mampu bersatu

Salam Nusantara !

Tema yang diangkat dalam Dialog Budaya dan Refleksi Kebangsaan ini adalah “Meneguhkan (kembali) identitas Kebhinekaan Indonesia”.Mengawali makalah ini, saya ingin sedikit mengingatkan kita semua, tentang sejarah bangsa ini, ketika Gerakan pemuda lahir. Ketika para founding fathers (bapak bangsa) memutuskan untuk mendirikan sebuah negara Indonesia diatas realitas kemajemukan suku, agama, budaya dan bahasa, maka bentuk Negara dan bangsa yang majemuk, yang bhineka tunggal ika, itu adalah sebuah pilihan. Keputusan untuk membangun sebuah bangsa diatas realitas kemajemukan tersebut tidak diambil secara mendadak dan tanpa proses. Sudah sejak berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908 bangsa kita sudah memiliki kesadaran akan realitas kemajemukan itu. Kesadaran itu kemudian dikukuhkan dalam ikrar sumpah pemuda tahun 1928 dan akhirnya menemukan bentuk finalnya berupa komitmen membangun sebuah Negara-bangsa yang merdeka kemudian diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Merdeka ialah satu jembatan emas yang diseberangnya didirikan negara Indonesia yang Kekal dan abadi. Syarat minimumnya untuk merdeka sebagaimana yang dikemukakan oleh Ir.Sukarno adalah manakala suatu bangsa telah sanggup mempertahankan negerinya dengan darah dagingnya sendiri.
104 tahun kebangkitan nasional, hampir 67 tahun sejak Indonesia merdeka dan hampir lima belas  tahun sudah era reformasi tergulir sejak 1998 lalu. Namun hasil yang dicita-citakan bangsa ini untuk membangun sebuah bangsa yang berdaulat belum terealisasikan.Adalah suatu ironik ketika pemerintahan Indonesia dipilih secara langsung oleh rakyat sejak dua periode yang lalu, namun rakyatnya banyak yang dibiarkan hidup dibawah garis kemiskinan.Penggusuran dimana-dimana, sementara korupsi semakin merajalela.Reformasi ternyata hanya menjadi hiasan tumbangnya sebuah rezim.Reformasi hanya menjadi simbol lahirnya sebuah era baru.Sebuah era yang begitu di agungkan dan diyakini untuk menghantarkan Indonesia ke pintu gerbang kejayaan dan kemakmuran. Namun, impian agung akan terciptanya sebuah negara yang dapat mensejahterakan rakyatnya dan mengangkat rakyatnya menuju manusia yang lebih berharkat dan bermartabat hanyalah menjadi metamorfosis kehidupan, kosong, mengambang dan bahkan menambah beban derita masyarakat. Tumbangnya era otoritarian Orde Baru lewat teriakan-teriakan dan hentakan-hentakan yel-yel “reformasi” hanya mampu melahirkan rezim yang seolah-olah reformasi.Kebijakan-kebijakan yang lahir oleh pemerintah yang dihasikan oleh Pemilu 1999,2004 dan 2009 tidak kalah sengitnya dengan rezim orde-baru.Akankah kemudian rezim tiranik orde-baru yang berwatak otoritarian kembali menjadi watak pemerintah bangsa ini atau ataukah rezim-rezim yang lebih tiranik lagi?
            Pertanyaannya kemudian adalah apakah begitu linear garis rezim-rezim disetiap pemerintahan bangsa kita? Rezim-rezim yang haus akan kekuasaan, rezim yang tidak memiliki hati nurani, yang rela menyaksikan sekian penderitaan rakyatnya, dan bahkan kenyataan penderitaan rakyat Indonesia seolah-olah menjadi takdir tuhan semata. Tidak ada lagi air mata yang menetes bagi kaum yang susah hidupnya.Masih segar dalam ingatan pembebasan lahan rakyat demi para pemilik modal. Penderitaan kini menjadi tontonan semata dan kita kemudian menjadi manusia-manusia permisif.
            Apakah kuasa rakyat atas tradisinya tidak bermakna lagi demi pembebasan rakyat itu sendiri?.Foucault (1956) telah mengajari kita bahwa kuasa itu tidaklah tunggal, tidak konsentris tetapi ia mengalir dalam kapiler-kapiler kehidupan baik oleh si patron (penguasa) maupun oleh si klien (rakyat). Artinya kita masih punya potensi besar untuk membuat suatu relasi kuasa makna menjadi bergeser memihak rakyat. Jawaban Lenin demikian juga Tan Malaka dalam perebutan kuasa makna ini adalah “gerakan Revolusioner”.
            Satu sisi kekuatan budaya nasional yang tersari-pati disetiap budaya lokal nusantara yang seharusnya menjadi identitas kejayaan bangsa, namun kemudian relasi sosial budaya yang diciptakan dunia Internasional dengan dibantu negara dan agen-agen social engineering masyarakat diarahkan menjadi konsumen sejati.Loncatan budaya hingga budaya posmodernisme telah mewabah dalam masyarakat Inodnesia.Budaya postmodernisme telah membelenggu dalam “kekinian abadi”.Dalam kondisi ini pemenuhan hasrat akan hal baru semakin membesar dan tenggelam dalam kedangkalan budaya konsumer. Jameson (1999) mengatakan masyarakat konsumer dikendalikan oleh hasrat pemujaan gaya hidup dan penampilan diri. Oleh karena itulah orang tidak perduli apakah hidup hanya sekali, yang penting bagaimana bisa tampil modis dan trendy. Dalam ruang seperti ini tidak ada kreativitas kultural selain menghamba pada citraan-citraan  yang disaksikan lewat televisi. Roda zaman kemudian menggilas masyarakat oleh kejaran-kejaran waktu yang tak bertepi.Tentunya situasi budaya tersebut sangat mengkwatirkan bagi keberlangsungan budaya Indonesia.Mengingat arus deras Globalisasi dan kemajuan teknologi yang melampaui batas-batas suatu negara dan budaya itu sendiri melahirkan sekian problem-problem sosio-budaya.Budaya-budaya lokal yang seharusnya menjadi identitas budaya nasional yang sekaligus menjadi simbol kebesaran bangsa menjadi terancam keberadaannya bahkan keaslian dan eksistensinya kemudian menjadi dipertanyakan.Haruskah budaya Indonesia kita tinggalkan demi sebuah hal/mode  baru? Padahal Ki Hajar Dewantara pernahmengatakan bahwa :Budaya Nasional itu adalah taman dari budaya lokal daerah yang ada”.Artinya, yang dimaksud dengan budaya asli indonesia adalah integrasi dari bermacam ragam budaya dari sabang sampai merauke yang ada dan menyatu menjadi identitas dan jati diri kebangsaan Indonesia.Kalimat yang disampaikan oleh Bapak pendidikan tersebut sangat besar maknanya saya pikir. Memahami budaya sebagai jati diri dan identitas kebangsaan, tentulah harus mengurai ulang peranan dan relasi kuasa yang ada di negeri ini. Tantangannya sekarang ini dimana generasi muda mencerna secara mentah-mentah budaya dari luar tanpa menyaringnya. Terjadi degradasi budaya, pemuda lebih senang lagu-lagu barat, lebih senang K-Pop.
Sekarang ini kita dalam situasi di mana kita mengalami sebuah Degradasi Budaya bahkan kehancuran sistematis budaya lokal. Bhinneka Tunggal Ika sebagai semangat berbudaya dalam rangka kebersatuan berbagai budaya lokal untuk maju dalam frame bangsa dan negara pun hanya sebagai slogan yang kini semakin dilupakan.Tumbuh berkembang serta kemajuan sebuah budaya ditentukan pada bagaimana kita semua merespon dan menjawab tantangan-tantangan budaya global.Respon dan jawabannya adalah agar kita kembali kreatif, inovatif dan menciptakan wilayah-wilayah perjuangan budaya yang mampu menjadi alternatif budaya global yang terbukti tidak memiliki “ruh” kemanusiaan yang utuh.
Ada banyak hal yang dapat dilakukan  dalam rangka mendorong negara yang revolusioner dan salah satunya adalah gerakan pemuda berbasis kebudayaan yang progresif dan revolusione. Dalam artian, dalam setiap momentum kesejarahan dan kebangsaan kita harus harus melakukan bacaan kritis atas situasi global, nasional dan lokal dalam merumuskan setiap sikap gerakan yang akan diambil. Sehingga memperkuat ataupun upaya mendelegitimasi negara diambil berdasarkan situasi Internasional yang mengitarinya. Gerakan ini sebagai pelestari sekaligus menjadi perekat enteitas negara ini. Gerakan ini adalah gerakan rakyat, dimana prosesnya adalah sebuah gerakan penyadaran – penyadaran rakyat dan penciptaan kantong gerakan. Penyadaran masyarakat melalui penanaman nilai-nilai kearifan lokal terhadap generasi muda sejak dini, sejak masih dalam keluarga, dilingkungan RT, RW dan Desa/kampung. Sedangkan penciptaan kantong-kantong gerakan ini adalah melalui pendidikan berbasis kebudayaan. Baik itu di jenjang pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Bukan malah pendidikan berbasis kompetensi, dimana setiap generasi muda saling adu balap lari untuk mendapatkan nilai, menyelesaikan study, dan pendidikan tidak lagi melaksanakan tugasnya untuk memberikan penanaman nilai-nilai kebudayaan bangsa ini, tidak ada lagi kreatifitas kultural. Saya yakin ini BISA dilakukan, jika penentu kebijakan atau pemimpin yang berkuasa berani melaksanakannya. Maka dari itu sangat dibutuhkan sebuah relasi kuasa yang ada dinegeri ini. Siapa yang harus memulai untuk melakukan penyadaran ini...?? jawabannya mari didiskusikan.
Karena memang sekarang ini tantangannya tidak seperti dimasa lalu, ketika gerakan kepemudaan berorientasi pada bidang politik, kaum muda masa kini justru lebih banyak berupa rongrongan budaya global yang sangat berpengaruh pada pola pikir dan gaya hidup mereka sehingga harusnya gerakan kepemudaan kini lebih diorientasikan pada bidang budaya local (local wisdom).Pemuda harus memiliki semangat untuk bersatu, lepas dari penindasan dan penguasaan budaya global.Kita berharap agar bangsa Indonesia bisa menghidupkan kembali budaya-budaya lokal yang ada sehingga nanti terwujud bangsa yang maju berkembang tanpa kehilangan jati dirinya. Kita buka mata dan hati kita, lihatlah bangsa India, Cina, Jepang, Thailand, dan Korea telah membuktikan sendiri. Bangsa yang meninggalkan pola hidup taklid hanya ikut-ikutan, ela-elu.Kini telah tumbuh menjadi macan Asia, dihormati dan segani masyarakat dunia, bangkit meraih kejayaan dengan berlandaskan loyalitasnya terhadap nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) yang terdapat dalam tradisi dan budayanya. Bangsa yang tahu karakter diri sejatinya, sangat tahu tindakan apa yang harus dilakukannya.
Sumpah Pemuda merupakan momentum yang berhasil menyatukan pemuda se-Indonesia dalam satu ikatan kebangsaan, perasaan senasib, sepenanggungan yang diderita oleh pemuda khususnya, telah memberikan kesadaran kritis terhadap situasi yang dihadapinya yaitu adanya sebagai tantangan bersama telah membangkitkan kesadaran kolektif pemuda untuk melawan penindasan budaya global.Diperlukan gerakan massif untuk menghidupkan kembali budaya-budaya lokal (baca; kearifan lokal) di tanah air secara terus menerus sebagai bentuk nyata dari perjuangan kaum muda yang seharusnya terus di dorong. Saya yakin sekarang ini, banyak sekali generasi muda yang lupa akan budayanya. Jangan sampai kita baru tau budaya kita, setelah orang lain atau negara lain mengklaimnya lagi !!!
            Maka saya ingin menyerukan kembali apa yang diutarakan oleh Presiden Soekarno ."Jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Pancasila yang saya usulkan itu menjadi satu realiteit, …janganlah lupa akan syarat untuk menyelenggarakannya, ialah perjuangan, perjuangan, sekali lagi perjuangan. Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia merdeka itu perjuangan kita telah berakhir. Tidak! Bahkan saya berkata: di dalam Indonesia merdeka itu perjuangan kita harus berjalan terus, hanya lain sifatnya dengan perjuangan sekarang. Hari ini tidak pilihan lain selain bergerak maju. Banyak gerakan yang bisa dilakukan dan salah satunya adalah gerakan kebudayaan.Gerakan mengembalikan “ruh” budaya nusantara. Menanamkan nilai-nilai kearifan local yang luhur terhadap diri generasi muda sekarang ini.Menanamkan kembali semangat cinta kepada kebudayaan sendiri.Kita harus memproteksi budaya-budaya luar yang masuk di Indonesia. Saya sangat yakin ini akan berat, namun jika dilakukan secara bersama-sama dan meletakkan kebudayaan sebagai pondasi dasarnya, yakin dan percaya bagaimana pun besarnya gempuran budaya global, itu tidak akan mempengaruhi ke Indonesiaan kita.

Sekian
Terima kasih

  Makalah disampaikan pada acara Dialog Budaya dan Refleksi Kebangsaan “Meneguhkan (kembali) identitas kebhinekaan Indonesia” memperingati HARKITNAS di Pendopo Kantor Gubernur pada Minggu, 20 Mei 2012 oleh ABD RAHIM, S.TP (Ketua Umum IKPMDI YK priode 2010-2012)

0 Responses

Posting Komentar