RAHIM PUTRA WAJO




MAHASISWA DAERAH DAN REFORMASI AGRARIA1
oleh Abd Rahim 2

“Tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan, Tanah untuk Tani! Tanah untuk mereka yang betul-betul menggarap tanah!” (Bung Karno)

Salam Nusantara !
            104 tahun kebangkitan nasional, hampir 67 tahun sejak Indonesia merdeka dan hampir lima belas  tahun sudah era reformasi tergulir sejak 1998 lalu. Namun hasil yang dicita-citakan bangsa ini untuk membangun sebuah bangsa yang berdaulat belum terealisasikan. Salah satunya adalah masalah agraria. Konflik agraria yang terjadi  di Bima, Mesuji, Pulau Padang dan berbagai tempat lain di Indonesia kini mendapatkan perhatian dari media dan  masyarakat luas. Namun, masih ada ratusan kasus konflik agraria lain yang luput dari perhatian media.   Konsorsium Pembaruan Agra­ria (KPA) dalam laporan akhir tahunnya mencatat, tahun 2011 saja terjadi 163 konflik agraria di se­luruh Indonesia yang menewaskan 24 orang  petani dan rakyat yang menggarap lahan. Berbagai konflik pertanahan tersebut mencuatkan kembali wacana tentang perlunya reformasi agraria demi mencegah terjadinya konflik serupa dimasa depan.  Sebenarnya, wacana publik mengenai reformasi agraria tidak pernah berhenti. Berbagai kalangan  menekankan perlunya diselenggarakan reformasi agraria guna menjamin hak-hak rakyat, khususnya petani, terhadap tanah sebagai alat produksi yang paling vital dalam sistem produksi pertanian maupun perladangan. Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan reformasi agraria? Apakah reformasi agraria pasti akan berpihak pada kepentingan kaum tani?
Definisi reformasi agraria dalam kajian ekonomi politik tidaklah tunggal. Secara etimologis reforma agraria berasal dari bahasa Spanyol, yang memiliki arti suatu upaya perubahan atau perombakan sosial yang dilakukan secara sadar, guna mentransformasikan struktur agraria ke arah sistem agraria yang lebih sehat dan merata bagi pengembangan pertanian dan kesejahteraan masyarakat desa(Jurnal Dialektika LPPMD UNPAD, 2006).
Sementara Krishna Ghimire dalam bukunya yang berjudul Land Reform & Peasant Livelihoods: The Social Dynamics of Rural Poverty & Agrarian Reform In Developing Countries (2001), mendefinisikan reformasi agraria atau land reformsebagai perubahan besar dalam struktur agraria, yang membawa peningkatan akses petani miskin pada lahan, serta kepastian penguasaan (tenure) bagi mereka yang menggarap lahan. Termasuk juga akses pada input pertanian, pasar serta jasa-jasa dan kebutuhan pendampingan lainnya.Dari kedua definisi tersebut, dapatalah ditarik suatu kesimpulan: reformasi agraria merupakan suatu perubahan dalam struktur agraria dengan tujuan peningkatan akses kaum tani miskin akan penguasaan tanah.Jadi pada hakekatnya, reformasi agraria dilakukan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan kaum tani miskin.
Setelah kaum tani meningkat kesejahteraannya, lalu apa nilai tambah yang diperoleh negara? Sebuah jawaban jitu diberikan oleh Rehman Sobhan, seorang ekonom terkemuka dari Bangladesh dalam buku karyanya yang berjudulAgrarian Reform and Social Transformation: Preconditions for Development (1993). Setelah menganalisis program reformasi agraria yang telah berlangung di 36 negara di seluruh dunia, beliau menarik kesimpulan bahwa bila sebuah negara ingin mewujudkan penghapusan kemiskinan di pedesaan serta mengakselerasikan segala pembangunan ekonomi, maka tidak ada alternatif lain selain melakukan reformasi agraria yang radikal. Reformasi agraria tersebut akan mendistribusikan kembali tanah-tanah secara merata bagi sebagian besar rakyat yang tak bertanah dan yang kekurangan tanah. Hal itu dengan sendirinya dapat menghapuskan secara total penguasaan tanah yang dominan dari kelas-kelas yang lama (feodal) maupun baru (kapitalis) di pedesaan.
Pemerataan penguasaan tanah di pedesaan sebagai hasil dari reformasi agraria akan menghasilkan peningkatan kesejahteraan warga desa yang pada umumnya petani gurem atau buruh tani. Peningkatan kesejahteraan tersebut akan menimbulkan konsekuensi peningkatan daya beli warga desa. Hal ini akan menjadi pasar potensial bagi produk-produk industri nasional, yang, pada akhirnya, dapat membantu proses industrialisasi nasional sebagai fondasi bagi kemandirian ekonomi bangsa.
Salah satu contoh keberhasilan reformasi (bahkan revolusi) agraria yang fenomenal adalah revolusi agraria pada akhir abad ke-18 di Perancis yang menghancurkan kelas aristokrasi feodal dan melahirkan pertanian kapitalis yang berbasiskan pemilikan tanah skala kecil. Berbagai negara yang juga terbilang sukses menyelenggarakan reformasi agraria dan menciptakan pasar domestik yang potensial adalah Jepang (pasca Restorasi Meiji abad 19),  Korea Selatan (1945-1953), Mesir (pada masa pemerintahan Gamal Abdul Nasser), Libya (setelah Kol. Muammar Khadafi berkuasa tahun 1969),  Kuba (pasca revolusi 1959), Cina (pasca revolusi 1949, meskipun di-reform kembali pada dekade 80-an), serta yang faktual adalah Venezuela sebagai bagian dari revolusi sosial Bolivarian yang ‘digelar’ Pemerintahan Hugo Chavez sejak ia berkuasa tahun 1998.
Dalam konteks Indonesia, reformasi agraria menjadi suatu hal yang urgen bila meninjau jumlah buruh tani dan petani gurem yang terus bertambah sebagai akibat dari konflik agraria yang juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Di Indonesia, terdapat lebih dari 80 persen petani gurem atau petani yang berlahan kurang dari 1 hektar. Lebih dari 50 persen jumlah petani berlahan sempit ini menguasai hanya 21 persen dari keseluruhan lahan pertanian (Husken dan White, 1989). Struktur agraria semacam ini merupakan warisan dari politik agraria kolonial yang masih lestari hingga kini.
Demi mengakhiri struktur penguasaan tanah yang timpang warisan kolonial, pemerintahan Soekarno mengeluarkan kebijakan reformasi agraria yang termaktub dalam UU Pokok Agraria (UU PA) No.5 tahun 1960.  UU PA No.5/1960 diberlakukan  untuk melikuidasi undang-undang agraria produk penjajahan Belanda (“Agrarische Wet”  dalam Staatsblad 1870 No. 55). Hingga kini, UU ini adalah produk hukum perundang-undangan yang paling berpihak pada kaum tani miskin, karena UU tersebut mereformasi ketimpangan penguasaan tanah menuju kearah kemakmuran yang berkeadilan.
Salah satu contoh pasal yang berpihak pada kepentingan kaum tani miskin dalam undang-undang tersebut ialah pasal 13 yang berisi empat  ayat dan berbunyi sebagai berikut :
1)          Pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian rupa, sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) serta menjamin bagi setiap warga-negara Indonesia derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.
2)          Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agrarian dari organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta.
3)          Usaha-usaha Pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan Undang-undang.
4)          Pemerintah berusaha untuk memajukan kepastian dan jaminan sosial,termasuk bidang perburuhan, dalam usaha-usaha dilapangan agraria.
Empat ayat dalam pasal ini jelas sekali merefleksikan karakter sosialisme Indonesia dari  reformasi agraria yang hendak dijalankan pemerintahan Soekarno. Orientasi pemerintah untuk meningkatkan kemakmuran rakyat serta pelarangan bagi pihak kapitalis swasta untuk memonopoli sistem produksi pertanian, hampir sama dengan reformasi agraria yang berlangsung di negara-negara sosialis semacam Kuba dan Venezuela.
Namun implementasi UU ini terkendala berbagai hal. Salah satunya adalah gangguan politik dari kelompok politik kanan-reaksioner yang menentang kebijakan agraria pemerintahan Soekarno. Kelompok-kelompok yang menentang reformasi agraria tersebut adalah militer (TNI-AD), sisa-sisa kelas feodal, kelompok Islam serta sos-dem (PSI). Klimaks dari semua kontradiksi politik itu ialah kudeta militer secara ‘merangkak’ pada tahun 1965 yang menjatuhkan Soekarno dan menumpas semua elemen politik progresif (PKI&PNI Kiri). Seluruh upaya reformasi agraria oleh pemerintahan Soekarno digagalkan oleh kontra-revolusi tersebut, yang akhirnya membawa Jenderal Soeharto ke tampuk kekuasaan. Soeharto pun mengeluarkan serangkaian kebijakan yang menegasikan politik agraria rezim sebelumnya, diantaranya UU Pokok Pertambangan No.11 tahun 1967 dan UU Penanaman Modal Asing No.1 tahun 1967, dimana seluruh regulasi itu berpihak pada kepentingan modal asing, bukan kaum tani.
Adapun yang terjadi saat ini, berupa pemaksaan dari pihak-pihak tertentu (pengusaha, developer, investor, dll.) untuk menggusur tanah milik rakyat dengan menggunakan tangan kekuasaan, maka itu adalah jelas-jelas sebuah kedzaliman . (As-Syafi’I As-Shaghir)
Secercah harapan muncul setelah runtuhnya pemerintahan Soeharto. Pada era reformasi, tepatnya tanggal 9 November 2001,dikeluarkanlah TAP MPR No.IX/2001 oleh MPR RI yang menugaskan pemerintah Indonesia untuk melaksanakan pembaruan agraria dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia (Pasal 2 TAP MPR No.IX/2001). Tetapi penetrasi dari kekuatan-kekuatan neo-liberal yang begitu kuat menyebabkan amanat itu tidak pernah terlaksana. Alih-alih melaksanakan reformasi agraria, pemerintah dan parlemen justru memproduksi berbagai undang-undang yang melegalisasi ‘perampokan’ tanah petani oleh kaum pemodal nasional maupun asing.
Undang-un­dang No. 41/1999 tentang Kehu­tanan, Undang-undang No. 18/2003 tentang Perkebunan, Un­dang-undang No. 7/2004 Sumber Daya Air, Undang-undang No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,  Undang-undang No. 4/2009 tentang Mineral dan Batu­bara serta yang terakhir Undang-undang Pengadaan Tanah 2011 adalah sebagian produk perundang-undangan yang diterbitkan guna memperlancar ekpansi pemilik modal untuk menguasai sektor agraria negeri ini. Produksi berbagai aturan perundang-undangan ini turut berkontribusi pada peningkatan represifitas aparat negara terhadap kaum tani seperti yang terjadi di Bima.
Politik agraria yang dijalankan pemerintahan reformasi dengan haluan kapitalisme liberal  jelas bertentangan dengan semangat UU PA No.5/1960 yang berlandaskan sosialisme Indonesia. Maka, gerakan kembali pada UU PA No.5//1960 mutlak perlu dilakukan oleh seluruh elemen pergerakan nasionalis-kerakyatan. Selain untuk melawan politik agraria penguasa, gerakan kembali pada  UU PA No.5/1960  juga merupakan suatu penegasan bahwasanya UU PA 5/1960 adalah produk hukum yang esensinya sesuai dengan hakekat dan tujuan sebenarnya dari pelaksanaan reformasi agraria, yakni peningkatan kesejahteraan petani miskin.
Menurut Iwan Nurdin, aktivis dari Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), UUPA 1960 adalah pengejawantahan secara konkret dari pasal 33 UUD 1945. “UUPA 1960 punya semangat yang sama dengan pasal 33 UUD 1945, yaitu merombak susunan ekonomi koloanisme,” Selain itu, dalam UUPA 1960, agraria tidak diartikan dengan tanah, tetapi agraria diartikan sebagai tanah, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Jadi, semangatnya benar-benar pasal 33 UUD 1945 ayat (3).
Lalu pertanyaannya kemudian dikembalikan kepada kita semua, putra daerah yang hadir di Yogyakarta dan seharusnya memberikan kontribusi rill terhadap daerah masing-masing. Apa yang bisa kita lakukan untuk menggerakkan kembali pada UU PA No.5/1960 ? Apa yang bisa kita lakukan sehingga hak daerah atas tanah, air dan kekayaan alam dikembalikan hasilnya ke daerah untuk kesejahteraan daerah ? Apa yang bisa kita lakukan sehingga masyarakat mendapatkan tanah untuk kesejahteraannya...??
Kongkritnya, kita mengharapkan peran putra daerah untuk bergerak mengadvokasi dan memberikan pendampingan dan atau pendidikan tentang agraria kepada masyarakat mengenai kasus-kasus agraria yang ada di daerah masing-masing.

Terima Kasih

1.  Makalah disampaikan pada acara Seminar Nasional “Peran Mahasiswa Daerah dalam menyelesaikan konflik Agraria di Indonesia” di Hotel Wisanti pada Senin, 21 Mei 2012
2.  Ketua IKPMD Indonesia – Yogyakarta priode 2010-2012

0 Responses

Posting Komentar