RAHIM PUTRA WAJO

VISI DAN MISI
ABD RAHIM DAENG PASSOMPE, S.Tp
KETUA UMUM IKMPD INDONESIA – YOGYAKARTA
PRIODE 2010-2012
“GERAKAN KEBUDAYAAN DAN KEWIRAUSAHAAN”

A. GERAKAN KEBUDAYAAN

Globalisasi di ranah ide, gagasan, ilmu pengetahuan yang diiringi dengan teknologi berkembang amat pesat. Lebih cepat dari kemampuan manusia untuk merenungkan apa hakikat semuanya untuk kemanfaatan hidup. Orang tidak lagi disibukkan dengan pertanyaan untuk apa kita memiliki ilmu, pengetahuan dan teknologi. Namun lebih menekankan pada fungsi-fungsi kemanfaatan/pragmatisnya semata. Semua pada akhirnya mengikuti arus globalisasi secara latah dan masa bodoh dengan hakikat progress/kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahwa hakikat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah untuk penyempurnaan proses hidup manusia menuju kesatuan dan keserasian lahir batin, jiwa dan raga.
Budaya Populer adalah budaya yang berada di pusaran arus global. Sayangnya, perkembangan budaya global justeru mematikan budaya-budaya nasional dan budaya lokal yang ada. Budaya lokal secara substansial tidak mengalami kemajuan yang berarti kecuali hanya untuk sarana komoditas ekonomi dan turisme saja. Budaya yang merupakan hasil manusia untuk mengolah daya cipta, rasa dan karsa berdasarkan atas kehendak dan keinginan masing-masing individu dalam sebuah wilayah tidak mampu lagi dianggap sebagai sebuah kearifan.
Individu yang berada di ruang-ruang budaya pun menjadi tumpul oleh arus pragmatis budaya global yang mungkin dipandang lebih menarik, mudah, cepat dan efisien. Para pengambil kebijakan tidak lagi memiliki semangat yang menyala untuk mengurusi kebudayaan lokalnya. Apalagi bila semua pihak tidak mendukung lahirnya kreativitas-kreativitas baru berkebudayaan dan berkesenian.
Ini adalah situasi di mana kita mengalami sebuah Degradasi Budaya bahkan kehancuran sistematis budaya lokal. Bhinneka Tunggal Ika sebagai semangat berbudaya dalam rangka kebersatuan berbagai budaya lokal untuk maju dalam frame bangsa dan negara pun hanya sebagai slogan yang kini semakin dilupakan.
Tumbuh berkembang serta kemajuan sebuah budaya ditentukan pada bagaimana kita semua merespon dan menjawab tantangan-tantangan budaya global. Respon dan jawabannya adalah agar kita kembali kreatif, inovatif dan menciptakan wilayah-wilayah perjuangan budaya yang mampu menjadi alternatif budaya global yang terbukti tidak memiliki “ruh” kemanusiaan yang utuh.
Justru pada budaya lokal, kita menemukan kembali “ruh” kemanusiaan itu. Ruh yang akan menyinari individu agar bisa bergerak secara harmonis antara individu dengan individu yang lain, antara individu dengan alam semesta, bahkan antara individu dengan dirinya sendiri sehingga nantinya individu tersebut akan menemukan diri sejati yang merupakan wakil Tuhan di alam semesta.


Siapa yang harus memulai untuk melakukan penyadaran adanya degradasi budaya ini? Sebuah fakta sejarah terjadi pada 28 Oktober 1928 saat para pemuda mengikrarkan Sumpah Pemuda. Intisari dan hakikat dari Sumpah Pemuda adalah kesadaran bahwa semua elemen bangsa harusnya memiliki kehendak, keinginan, cita-cita yang sama untuk mewujudkan sebuah kesatuan wahana dan ruang kreativitas dan kebebasan ekspresi yang berbeda-beda.
Jembatan untuk memasuki wahana persatuan dan kesatuan tersebut adalah tanah air, bangsa dan bahasa. Setiap babakan sejarah, pemuda selalu menjadi motor penggerak perubahan zaman. Sejarah telah menegaskan tentang kepeloporan pemuda di era kolonial hingga era perjuangan kemerdekaan bahkan di era reformasi. Perjuangan pemuda selalu dihadapkan pada tantangan hambatan dan kesulitan, bahkan darah dan airmata menjadi taruhan
Di era masa lalu, gerakan kepemudaan lebih berorientasi pada bidang politik. Kini tantangan kaum muda masa kini justeru lebih banyak berupa rongrongan budaya global yang sangat berpengaruh pada pola pikir dan gaya hidup mereka sehingga harusnya gerakan kepemudaan kini lebih diorientasikan pada bidang budaya local (local wisdom).
Pemuda harus memiliki semangat untuk bersatu, lepas dari penindasan dan penguasaan budaya global. Kita berharap agar bangsa Indonesia bisa menghidupkan kembali budaya-budaya lokal yang ada sehingga nanti terwujud bangsa yang maju berkembang tanpa kehilangan jati dirinya. Kita buka mata dan hati kita, lihatlah bangsa India, Cina, Jepang, Thailand, dan Korea telah membuktikan sendiri. Bangsa yang meninggalkan pola hidup taklid hanya ikut-ikutan, ela-elu. Kini telah tumbuh menjadi macam Asia, dihormati dan segani masyarakat dunia, bangkit meraih kejayaan dengan berlandaskan loyalitasnya terhadap nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) yang terdapat dalam tradisi dan budayanya. Bangsa yang tahu karakter diri sejatinya, sangat tahu tindakan apa yang harus dilakukannya.
Sumpah Pemuda merupakan momentum yang berhasil menyatukan pemuda se-Indonesia dalam satu ikatan kebangsaan, perasaan senasib, sepenanggungan yang diderita oleh pemuda khususnya, telah memberikan kesadaran kritis terhadap situasi yang dihadapinya yaitu adanya sebagai tantangan bersama telah membangkitkan kesadaran kolektif pemuda untuk melawan penindasan budaya global. Diperlukan gerakan massif untuk menghidupkan kembali budaya-budaya lokal (baca; kearifan lokal) di tanah air secara terus menerus sebagai bentuk nyata dari perjuangan kaum muda yang seharusnya terus di dorong oleh salah satu organisasi kepemudaan besar di Yogyakarta yaitu IKPMD Indonesia Yogyakarta.
Perjuangan kaum muda dari IKMPD Indonesia di bidang budaya diharapkan akan membawa perubahan sosial yang mendalam bagi masyarakat khususnya pada anggota IKPMD Indonesia, terutama di bidang pendidikan dan “cultural action”. Dari pendidikan dan cultural action ini muncullah pejuang-pejuang muda yang kaya akan ide dan konsep untuk melawan budaya global melalui ide kegiatan.
Untuk mewujudkan ide tersebut maka dengan ini kami menyerukan kapada SEMUA PEMUDA DI TANAH AIR untuk bersatu dalam gerakan “CULTURAL ACTION”:
1.      Menghidupkan Kembali Budaya Daerah Sebagai Dasar Pengembangan Budaya Nusantara

2.      Menjadikan Budaya Daerah Sebagai Dasar Pijakan Ide-Ide Kreatif Pembangunan.
3.      Mengembangkan Kearifan Budaya Daerah Sebagai Nilai-Nilai Pembangunan Nasional.
4.      Mengembangkan Nilai-Nilai Moral, Mental Dan Ajaran Hidup Bermasyarakat Yang Ada Di Budaya Daerah Dalam Rangka Mendukung Perkembangan Budaya Nusantara.
5.      Mengurangi Pengaruh Negatif Budaya Global Dengan Mengembangkan Budaya Nusantara.
B. GERAKAN ENTREPRENEURSHIP
Pengembangan entrepreneurship (kewirausahaan) adalah kunci kemajuan. Mengapa? Itulah cara mengurangi jumlah penganggur, menciptakan lapangan kerja, mengentaskan masyarakat dari kemiskinan dan keterpurukan ekonomis. Lebih jauh lagi dan politis, meningkatkan harkat sebagai bangsa yang mandiri dan bermartabat. Dalam ranah pendidikan, persoalannya menyangkut bagaimana dikembangkan praksis pendidikan yang tidak hanya menghasilkan manusia terampil dari sisi ulah intelektual, tetapi juga praksis pendidikan yang inspiratif-pragmatis.
Praksis pendidikan, lewat kurikulum, sistem dan penyelenggaraannya harus serba terbuka, eksploratif, dan membebaskan. Tidak hanya praksis pendidikan yang link and match (tanggem), yang lulusannya siap memasuki lapangan kerja, tetapi juga siap menciptakan lapangan kerja.
Panelis Agus Bastian menangkap gejala yang berkebalikan di lingkungan terdekatnya, Kota Yogyakarta. Di satu sisi bermunculan banyak entrepreneur muda yang kreatif. Mereka jeli menangkap peluang menjawab kebutuhan komunitas kampus. Misalnya bisnis refil tinta, merakit komputer, jual beli buku, cuci kiloan, melukis sepatu—sebelumnya tentu saja yang sudah lama melukis kaus—sama seperti rekan-rekan mereka di kota lain, seperti Bandung.
Sebaliknya, pada saat yang sama, rekan-rekan berebut tempat meraih kursi pegawai negeri. Ribuan anak muda terdidik berdesakan antre mendaftar, mengikuti ujian saringan, bahkan ada yang perlu merogoh kocek ratusan ribu untuk pelicin.
Ditarik dalam konteks nasional, pengamatan Bastian itulah miniatur kondisi ketenagakerjaan Indonesia, lebih jauh lagi potret lemahnya jiwa kewirausahaan. Misalnya, bahkan untuk sarjana yang relatif potensial terserap di lapangan kerja pun, sampai pertengahan tahun lalu 70 persen dari 6.000 sarjana pertanian lulusan 58 perguruan tinggi di Indonesia menganggur. Merekalah bagian dari 9,43 juta atau 8,46 persen jumlah penduduk pada Februari 2008.
Tidak imbangnya jumlah pelamar kerja dan lowongan kerja, gejalanya merata di seluruh pelosok—bahkan jumlah penganggur terdidik semakin membesar—menunjukkan kecilnya jiwa kewirausahaan. Para lulusan lebih tampil sebagai pencari kerja dan belum sebagai pencipta lapangan kerja. Tidak terserapnya lulusan pendidikan ke lapangan kerja memang tidak sepenuhnya disebabkan faktor tak adanya jiwa kewirausahaan. Banyak faktor lain menjadi penyebab. Meskipun demikian, tampaknya faktor dan tantangan terpenting adalah bagaimana institusi pendidikan berhasil membentuk atau menanamkan semangat, jiwa, dan sikap kewirausahaan.

Sebagai disiplin ilmu, kewirausahaan bisa diajarkan lewat sistem terstruktur, salah satu hasil penting dan utama praksis pendidikan. Lembaga pendidikan tidak dapat memberikan pekerjaan, tetapi bisa memastikan agar hasil didik mampu menciptakan pekerjaan.
Mengutip Peter F Drucker, pakar manajemen yang kondang pada tahun 1990-an, kewirausahaan itu bukan bimsalabim, apalagi berurusan dengan keturunan. Singapura dengan memiliki 4 persen wirausaha dari total penduduknya, sementara Indonesia baru 0,18 persen dari total sekitar 225 juta penduduk, bukan karena mayoritas penduduknya beretnis China dan Indonesia mayoritas Jawa. Ketimpangan itu disebabkan kurang terselenggaranya praksis pendidikan yang membuka ke arah kreativitas dan temuan-temuan bersama.
Inisiatif pada tahun 2010 ini Kementerian Urusan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) mengalokasikan dana Rp 50 miliar untuk mencetak 10.000 sarjana wirausaha perlu dihargai. Proyek itu menambah adrenalin Kementerian Pendidikan Nasional yang lama terengah-engah dengan masalah-masalah teknis dan sistem.
Dana UKM itu digunakan untuk pemberdayaan sarjana di bawah usia 30 tahun yang masih menganggur. Sejak digulirkan Desember 2009 dan telah disosialisasikan ke sembilan provinsi, program ini diikuti 4.525 sarjana dan akan berlangsung sampai tahun 2014 dengan target tahunan tercipta 10.000 atau seluruhnya 50.000 wirausaha baru hingga tahun 2014. Memang terlambat, sebab justru kewirausahaan seharusnya ditanamkan sejak di jenjang pendidikan anak usia dini dan bukan dicangkokkan setelah lulus. Namun, tak ada kata terlambat untuk suatu perbaikan. Program ini merupakan bagian dari upaya memperbesar jumlah wirausaha Indonesia.
Tercatat jumlah 48 juta wirausaha Indonesia, tetapi yang benar-benar wirausahawan sejati sebenarnya hanya 0,1 persen atau sekitar 400.000 orang. Minimal dari jumlah total penduduk, setidaknya Indonesia harus memiliki 2 persen dari jumlah itu. Upaya itu sejalan dengan ”impian” Ciputra, salah satu entrepreneur Indonesia yang obses, bahwa pada 25 tahun lagi lahir 4 juta entrepreneur Indonesia.

Relatif Gerakan Baru dan Tren
Kewirausahaan memang masih merupakan barang baru untuk Indonesia, sementara AS sudah mengenalnya sejak 30 tahun lalu dan Eropa 6-7 tahun lalu. Munculnya entrepreneur sebagai hasil lembaga pendidikan dan buah learning by doing masih ada perbedaan persepsi. Ada yang berpendapat jiwa kewirausahaan tidak harus dihasilkan dari lembaga pendidikan, ada pendapat lain bisa dilakukan tidak lewat proses yang direncanakan.
Menurut panelis Agus Bastian, entrepreneur dan kemudian politisi yang merasa sebagai entrepreneur lahir dari jalanan, yakin kewirausahaan bisa dihasilkan juga dari semangat mengambil risiko tanpa takut, bukan lewat pendidikan khusus kewirausahaan atau manajemen. Modal utama seorang entrepreneur bukanlah uang, melainkan kreativitas. Tanpa kreativitas, syarat utama seorang calon entrepreneur, yang ada bukanlah entrepreneur sejati, melainkan pedagang. Keyakinan Agus didukung panelis Agung Waluyo. Seorang entrepreneur jadi dari

sosok seorang pedagang atau juragan. Sebab, kewirausahaan menawarkan dan menciptakan nilai, sementara jiwa dagang hanya menawarkan alternatif.
Ada contoh, seorang sarjana lulusan UGM menciptakan nilai mau membantu yang sama-sama jadi korban gempa bulan Mei 2006. Dia buat desain pakaian Muslim. Dia tawarkan lewat internet atas mentoring langsung Ciputra. Usahanya berkembang, bahkan sekarang sudah merambah mancanegara di tiga benua besar, sampai akhirnya dia merasa tak sanggup lagi melayani permintaan pasar. Tetapi, ia sudah menciptakan nilai untuk desanya, menciptakan lapangan kerja baru.
Contoh kasus itu menunjukkan, sikap menolong orang lain diwujudkan untuk orang lain. Nilainya bukan hanya miliknya sendiri, tetapi milik orang lain juga. Yang dia lakukan adalah menginspirasikan generasi muda bahwa mereka bisa menjadi berkah bagi masyarakat. Sosok sarjana lulusan UGM di atas mirip jiwa kewirausahaan Mangunwijaya, terutama dalam konteks menciptakan nilai untuk orang lain (social entrepreneurship, kewirausahaan sosial).
Selain Kementerian Urusan Koperasi dan UKM, Kementerian Pendidikan Nasional yang bertanggung jawab dalam urusan pendidikan perlu diakui belum lama tanggap. Walaupun masih terengah-engah bergulat dengan soal-soal teknis, bekerja sama dengan lembaga penggiat wiraswasta seperti Ciputra Entrepreneurship Center, Kementerian Pendidikan Nasional melakukan upaya membangun jiwa kewirausahaan. Dilakukan dengan membenahi kurikulum berbasis komunitas, memperbaiki praksis pendidikan di sekolah kejuruan dan tinggi, sampai pada pengarbitan calon-calon entrepreneur yang dicangkokkan di lembaga pendidikan tinggi.
Banyaknya industri kreatif yang dihasilkan bangsa ini menunjukkan sebenarnya bangsa ini kreatif. Tetapi, mengapa kekayaan alam dan kekayaan budaya dengan segala keragamannya itu tidak dimanfaatkan untuk ekonomi?
Karena kita tidak kreatif. Karena kita tidak punya jiwa kewirausahaan—yang dengan gampang terbelokkan karena sejak awal pun bangsa ini terbelenggu tidak dibesarkan dalam budaya wirausaha. Melalui kewirausahaan sebenarnya anugerah alam raya Indonesia bisa dimanfaatkan untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa.

Gerakan nasional dari Organisasi Kepemudaan IKPMD INDONESIA
Masalahnya, apakah yang perlu dipelajari generasi muda mengembangkan jiwa kewirausahaan? Kepercayaan diri menjadi modal utama, selain sikap dan kemauan terus menemukan yang baru tanpa kenal risiko. Kewirausahaan membuat orang yang berhasrat besar terhadap sesuatu menjadi mandiri secara finansial dan berkontribusi untuk masyarakat. Dia melatih keterampilan, know-how, dan tindakan yang menghasilkan ide-ide dan inovasi, meyakinkan orang lain untuk menolong dan bekerja dalam sebuah tim, menerjemahkan ide menjadi kenyataan, dan mendirikan perusahaan.
Dalam konteks Indonesia, dengan kecilnya jumlah entrepreneur, kewirausahaan menjadi keharusan. Dialah kunci kemajuan. Dunia membutuhkan solusi masalah yang bisa mewujudkan impian jadi kenyataan, dilandasi ambisi dan keberanian mengambil risiko secara cerdas.

Menanamkan jiwa kewirausahaan perlu dimulai dini dalam praksis pendidikan mengusung kebebasan, sebagai contoh SD Mangunan di Sleman dan Sanggar Anak Alam di
Bantul. Masih banyak yang lain, yang umumnya kembali pada dasar paling mendasar dari praksis pendidikan, yakni praksis pembelajaran yang membebaskan yang kadang direcoki dengan pendekatan teknis dan persoalan remeh-temeh mengganggu seperti kasus ujian nasional atau UU Badan Hukum Pendidikan.
Dibutuhkan satu gerakan nasional dari organisasi kepemudaan IKPMD Indonesia untuk mendorong lahirnya entrepreurship muda, semacam Gerakan Kewirausahaan berbasis komunitas untuk melahirkan UKM-UKM baru di satu pihak atau bisnis mandiri, sekaligus praksis pendidikan yang berorientasi pada pendidikan yang membebaskan di atas habitat masyarakat yang kondusif positif menyangkut 3 L (lahir, lingkungan, latihan). Gerakan baru mencoba kita rumuskan menjadi satu kesatuan dalam tubuh Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa Daerah Indonesia sebagai Gerakan Budaya dan Wirausaha yang melibatkan pemerintah, akademisi, bisnis, dan sosok-sosok sosial.
Itulah tantangan urgen-mendesak bagi IKPMD Indonesia yang seharusnya menjadi batu penjuru dan landasan pacu untuk bergerak lebih maju melalui visi dan misi yang lebih spesifik dan mengena pada sasaran yang mampu bersinergi dengan pemerintah. Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa Daerah Indonesia di Yogyakarta sebagai salah satu organisasi kepemudaan besar harus mampu mengambil peran dalam pembangunan nasional khususnya dalam priode kepengurusan ini adalah pada bidang kebudayaan dan kewirausahaan. Arah umum perumusan program kerja berlandaskan visi dan misi ini sehingga focus dan target kepengurusan tepat pada sararan. Gerakan Kebudayaan dan Entrepreneurship adalah salah satu langkah efektif dan strategis untuk mengembangkan sayap IKPMD Indonesia untuk bergerak lebih maju dan dinamis sesuai dengan arahan tema pelantikan pengurus IKPMD Indonesia yaitu “ Gerak Zambrud Nusantara untuk Indonesia ”.
Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa Daerah Indonesia memiliki Sumber Daya Manusia yang kongkrit untuk bergerak dan Sumber Daya Manusia yang berkualitas yang sangat mampu menjalankan setiap gerakan kebudayaan dan kewirausahaan yang dituangkan ke dalam program kerja 2 tahun ke depan. Selain itu pengurus priode ini juga diharuskan mampu memperbaiki pondasi organisasi dan membangun sinergi yang baik serta bertanggung jawab, saling percaya dan konsisten dengan pemerintah provinsi dan kota Yogyakarta dan juga pemerintah pusat.

Yogyakarta, 16 Juli 2010
Penulis

ABD RAHIM
Ketua Umum IKPMD Indonesia
0 Responses

Posting Komentar