RAHIM PUTRA WAJO




MAHASISWA DAERAH DAN REFORMASI AGRARIA1
oleh Abd Rahim 2

“Tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan, Tanah untuk Tani! Tanah untuk mereka yang betul-betul menggarap tanah!” (Bung Karno)

Salam Nusantara !
            104 tahun kebangkitan nasional, hampir 67 tahun sejak Indonesia merdeka dan hampir lima belas  tahun sudah era reformasi tergulir sejak 1998 lalu. Namun hasil yang dicita-citakan bangsa ini untuk membangun sebuah bangsa yang berdaulat belum terealisasikan. Salah satunya adalah masalah agraria. Konflik agraria yang terjadi  di Bima, Mesuji, Pulau Padang dan berbagai tempat lain di Indonesia kini mendapatkan perhatian dari media dan  masyarakat luas. Namun, masih ada ratusan kasus konflik agraria lain yang luput dari perhatian media.   Konsorsium Pembaruan Agra­ria (KPA) dalam laporan akhir tahunnya mencatat, tahun 2011 saja terjadi 163 konflik agraria di se­luruh Indonesia yang menewaskan 24 orang  petani dan rakyat yang menggarap lahan. Berbagai konflik pertanahan tersebut mencuatkan kembali wacana tentang perlunya reformasi agraria demi mencegah terjadinya konflik serupa dimasa depan.  Sebenarnya, wacana publik mengenai reformasi agraria tidak pernah berhenti. Berbagai kalangan  menekankan perlunya diselenggarakan reformasi agraria guna menjamin hak-hak rakyat, khususnya petani, terhadap tanah sebagai alat produksi yang paling vital dalam sistem produksi pertanian maupun perladangan. Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan reformasi agraria? Apakah reformasi agraria pasti akan berpihak pada kepentingan kaum tani?
Definisi reformasi agraria dalam kajian ekonomi politik tidaklah tunggal. Secara etimologis reforma agraria berasal dari bahasa Spanyol, yang memiliki arti suatu upaya perubahan atau perombakan sosial yang dilakukan secara sadar, guna mentransformasikan struktur agraria ke arah sistem agraria yang lebih sehat dan merata bagi pengembangan pertanian dan kesejahteraan masyarakat desa(Jurnal Dialektika LPPMD UNPAD, 2006).
Sementara Krishna Ghimire dalam bukunya yang berjudul Land Reform & Peasant Livelihoods: The Social Dynamics of Rural Poverty & Agrarian Reform In Developing Countries (2001), mendefinisikan reformasi agraria atau land reformsebagai perubahan besar dalam struktur agraria, yang membawa peningkatan akses petani miskin pada lahan, serta kepastian penguasaan (tenure) bagi mereka yang menggarap lahan. Termasuk juga akses pada input pertanian, pasar serta jasa-jasa dan kebutuhan pendampingan lainnya.Dari kedua definisi tersebut, dapatalah ditarik suatu kesimpulan: reformasi agraria merupakan suatu perubahan dalam struktur agraria dengan tujuan peningkatan akses kaum tani miskin akan penguasaan tanah.Jadi pada hakekatnya, reformasi agraria dilakukan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan kaum tani miskin.
Setelah kaum tani meningkat kesejahteraannya, lalu apa nilai tambah yang diperoleh negara? Sebuah jawaban jitu diberikan oleh Rehman Sobhan, seorang ekonom terkemuka dari Bangladesh dalam buku karyanya yang berjudulAgrarian Reform and Social Transformation: Preconditions for Development (1993). Setelah menganalisis program reformasi agraria yang telah berlangung di 36 negara di seluruh dunia, beliau menarik kesimpulan bahwa bila sebuah negara ingin mewujudkan penghapusan kemiskinan di pedesaan serta mengakselerasikan segala pembangunan ekonomi, maka tidak ada alternatif lain selain melakukan reformasi agraria yang radikal. Reformasi agraria tersebut akan mendistribusikan kembali tanah-tanah secara merata bagi sebagian besar rakyat yang tak bertanah dan yang kekurangan tanah. Hal itu dengan sendirinya dapat menghapuskan secara total penguasaan tanah yang dominan dari kelas-kelas yang lama (feodal) maupun baru (kapitalis) di pedesaan.
Pemerataan penguasaan tanah di pedesaan sebagai hasil dari reformasi agraria akan menghasilkan peningkatan kesejahteraan warga desa yang pada umumnya petani gurem atau buruh tani. Peningkatan kesejahteraan tersebut akan menimbulkan konsekuensi peningkatan daya beli warga desa. Hal ini akan menjadi pasar potensial bagi produk-produk industri nasional, yang, pada akhirnya, dapat membantu proses industrialisasi nasional sebagai fondasi bagi kemandirian ekonomi bangsa.
Salah satu contoh keberhasilan reformasi (bahkan revolusi) agraria yang fenomenal adalah revolusi agraria pada akhir abad ke-18 di Perancis yang menghancurkan kelas aristokrasi feodal dan melahirkan pertanian kapitalis yang berbasiskan pemilikan tanah skala kecil. Berbagai negara yang juga terbilang sukses menyelenggarakan reformasi agraria dan menciptakan pasar domestik yang potensial adalah Jepang (pasca Restorasi Meiji abad 19),  Korea Selatan (1945-1953), Mesir (pada masa pemerintahan Gamal Abdul Nasser), Libya (setelah Kol. Muammar Khadafi berkuasa tahun 1969),  Kuba (pasca revolusi 1959), Cina (pasca revolusi 1949, meskipun di-reform kembali pada dekade 80-an), serta yang faktual adalah Venezuela sebagai bagian dari revolusi sosial Bolivarian yang ‘digelar’ Pemerintahan Hugo Chavez sejak ia berkuasa tahun 1998.
Dalam konteks Indonesia, reformasi agraria menjadi suatu hal yang urgen bila meninjau jumlah buruh tani dan petani gurem yang terus bertambah sebagai akibat dari konflik agraria yang juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Di Indonesia, terdapat lebih dari 80 persen petani gurem atau petani yang berlahan kurang dari 1 hektar. Lebih dari 50 persen jumlah petani berlahan sempit ini menguasai hanya 21 persen dari keseluruhan lahan pertanian (Husken dan White, 1989). Struktur agraria semacam ini merupakan warisan dari politik agraria kolonial yang masih lestari hingga kini.
Demi mengakhiri struktur penguasaan tanah yang timpang warisan kolonial, pemerintahan Soekarno mengeluarkan kebijakan reformasi agraria yang termaktub dalam UU Pokok Agraria (UU PA) No.5 tahun 1960.  UU PA No.5/1960 diberlakukan  untuk melikuidasi undang-undang agraria produk penjajahan Belanda (“Agrarische Wet”  dalam Staatsblad 1870 No. 55). Hingga kini, UU ini adalah produk hukum perundang-undangan yang paling berpihak pada kaum tani miskin, karena UU tersebut mereformasi ketimpangan penguasaan tanah menuju kearah kemakmuran yang berkeadilan.
Salah satu contoh pasal yang berpihak pada kepentingan kaum tani miskin dalam undang-undang tersebut ialah pasal 13 yang berisi empat  ayat dan berbunyi sebagai berikut :
1)          Pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian rupa, sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) serta menjamin bagi setiap warga-negara Indonesia derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.
2)          Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agrarian dari organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta.
3)          Usaha-usaha Pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan Undang-undang.
4)          Pemerintah berusaha untuk memajukan kepastian dan jaminan sosial,termasuk bidang perburuhan, dalam usaha-usaha dilapangan agraria.
Empat ayat dalam pasal ini jelas sekali merefleksikan karakter sosialisme Indonesia dari  reformasi agraria yang hendak dijalankan pemerintahan Soekarno. Orientasi pemerintah untuk meningkatkan kemakmuran rakyat serta pelarangan bagi pihak kapitalis swasta untuk memonopoli sistem produksi pertanian, hampir sama dengan reformasi agraria yang berlangsung di negara-negara sosialis semacam Kuba dan Venezuela.
Namun implementasi UU ini terkendala berbagai hal. Salah satunya adalah gangguan politik dari kelompok politik kanan-reaksioner yang menentang kebijakan agraria pemerintahan Soekarno. Kelompok-kelompok yang menentang reformasi agraria tersebut adalah militer (TNI-AD), sisa-sisa kelas feodal, kelompok Islam serta sos-dem (PSI). Klimaks dari semua kontradiksi politik itu ialah kudeta militer secara ‘merangkak’ pada tahun 1965 yang menjatuhkan Soekarno dan menumpas semua elemen politik progresif (PKI&PNI Kiri). Seluruh upaya reformasi agraria oleh pemerintahan Soekarno digagalkan oleh kontra-revolusi tersebut, yang akhirnya membawa Jenderal Soeharto ke tampuk kekuasaan. Soeharto pun mengeluarkan serangkaian kebijakan yang menegasikan politik agraria rezim sebelumnya, diantaranya UU Pokok Pertambangan No.11 tahun 1967 dan UU Penanaman Modal Asing No.1 tahun 1967, dimana seluruh regulasi itu berpihak pada kepentingan modal asing, bukan kaum tani.
Adapun yang terjadi saat ini, berupa pemaksaan dari pihak-pihak tertentu (pengusaha, developer, investor, dll.) untuk menggusur tanah milik rakyat dengan menggunakan tangan kekuasaan, maka itu adalah jelas-jelas sebuah kedzaliman . (As-Syafi’I As-Shaghir)
Secercah harapan muncul setelah runtuhnya pemerintahan Soeharto. Pada era reformasi, tepatnya tanggal 9 November 2001,dikeluarkanlah TAP MPR No.IX/2001 oleh MPR RI yang menugaskan pemerintah Indonesia untuk melaksanakan pembaruan agraria dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia (Pasal 2 TAP MPR No.IX/2001). Tetapi penetrasi dari kekuatan-kekuatan neo-liberal yang begitu kuat menyebabkan amanat itu tidak pernah terlaksana. Alih-alih melaksanakan reformasi agraria, pemerintah dan parlemen justru memproduksi berbagai undang-undang yang melegalisasi ‘perampokan’ tanah petani oleh kaum pemodal nasional maupun asing.
Undang-un­dang No. 41/1999 tentang Kehu­tanan, Undang-undang No. 18/2003 tentang Perkebunan, Un­dang-undang No. 7/2004 Sumber Daya Air, Undang-undang No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,  Undang-undang No. 4/2009 tentang Mineral dan Batu­bara serta yang terakhir Undang-undang Pengadaan Tanah 2011 adalah sebagian produk perundang-undangan yang diterbitkan guna memperlancar ekpansi pemilik modal untuk menguasai sektor agraria negeri ini. Produksi berbagai aturan perundang-undangan ini turut berkontribusi pada peningkatan represifitas aparat negara terhadap kaum tani seperti yang terjadi di Bima.
Politik agraria yang dijalankan pemerintahan reformasi dengan haluan kapitalisme liberal  jelas bertentangan dengan semangat UU PA No.5/1960 yang berlandaskan sosialisme Indonesia. Maka, gerakan kembali pada UU PA No.5//1960 mutlak perlu dilakukan oleh seluruh elemen pergerakan nasionalis-kerakyatan. Selain untuk melawan politik agraria penguasa, gerakan kembali pada  UU PA No.5/1960  juga merupakan suatu penegasan bahwasanya UU PA 5/1960 adalah produk hukum yang esensinya sesuai dengan hakekat dan tujuan sebenarnya dari pelaksanaan reformasi agraria, yakni peningkatan kesejahteraan petani miskin.
Menurut Iwan Nurdin, aktivis dari Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), UUPA 1960 adalah pengejawantahan secara konkret dari pasal 33 UUD 1945. “UUPA 1960 punya semangat yang sama dengan pasal 33 UUD 1945, yaitu merombak susunan ekonomi koloanisme,” Selain itu, dalam UUPA 1960, agraria tidak diartikan dengan tanah, tetapi agraria diartikan sebagai tanah, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Jadi, semangatnya benar-benar pasal 33 UUD 1945 ayat (3).
Lalu pertanyaannya kemudian dikembalikan kepada kita semua, putra daerah yang hadir di Yogyakarta dan seharusnya memberikan kontribusi rill terhadap daerah masing-masing. Apa yang bisa kita lakukan untuk menggerakkan kembali pada UU PA No.5/1960 ? Apa yang bisa kita lakukan sehingga hak daerah atas tanah, air dan kekayaan alam dikembalikan hasilnya ke daerah untuk kesejahteraan daerah ? Apa yang bisa kita lakukan sehingga masyarakat mendapatkan tanah untuk kesejahteraannya...??
Kongkritnya, kita mengharapkan peran putra daerah untuk bergerak mengadvokasi dan memberikan pendampingan dan atau pendidikan tentang agraria kepada masyarakat mengenai kasus-kasus agraria yang ada di daerah masing-masing.

Terima Kasih

1.  Makalah disampaikan pada acara Seminar Nasional “Peran Mahasiswa Daerah dalam menyelesaikan konflik Agraria di Indonesia” di Hotel Wisanti pada Senin, 21 Mei 2012
2.  Ketua IKPMD Indonesia – Yogyakarta priode 2010-2012

RAHIM PUTRA WAJO





MEMPERKUAT BUDAYA, MEMBANGKITKAN INDONESIA 1
oleh Abd Rahim 2

dengan seni, hidup menjadi indah.
dengan budaya lokal, nusantara mampu bersatu

Salam Nusantara !

Tema yang diangkat dalam Dialog Budaya dan Refleksi Kebangsaan ini adalah “Meneguhkan (kembali) identitas Kebhinekaan Indonesia”.Mengawali makalah ini, saya ingin sedikit mengingatkan kita semua, tentang sejarah bangsa ini, ketika Gerakan pemuda lahir. Ketika para founding fathers (bapak bangsa) memutuskan untuk mendirikan sebuah negara Indonesia diatas realitas kemajemukan suku, agama, budaya dan bahasa, maka bentuk Negara dan bangsa yang majemuk, yang bhineka tunggal ika, itu adalah sebuah pilihan. Keputusan untuk membangun sebuah bangsa diatas realitas kemajemukan tersebut tidak diambil secara mendadak dan tanpa proses. Sudah sejak berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908 bangsa kita sudah memiliki kesadaran akan realitas kemajemukan itu. Kesadaran itu kemudian dikukuhkan dalam ikrar sumpah pemuda tahun 1928 dan akhirnya menemukan bentuk finalnya berupa komitmen membangun sebuah Negara-bangsa yang merdeka kemudian diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Merdeka ialah satu jembatan emas yang diseberangnya didirikan negara Indonesia yang Kekal dan abadi. Syarat minimumnya untuk merdeka sebagaimana yang dikemukakan oleh Ir.Sukarno adalah manakala suatu bangsa telah sanggup mempertahankan negerinya dengan darah dagingnya sendiri.
104 tahun kebangkitan nasional, hampir 67 tahun sejak Indonesia merdeka dan hampir lima belas  tahun sudah era reformasi tergulir sejak 1998 lalu. Namun hasil yang dicita-citakan bangsa ini untuk membangun sebuah bangsa yang berdaulat belum terealisasikan.Adalah suatu ironik ketika pemerintahan Indonesia dipilih secara langsung oleh rakyat sejak dua periode yang lalu, namun rakyatnya banyak yang dibiarkan hidup dibawah garis kemiskinan.Penggusuran dimana-dimana, sementara korupsi semakin merajalela.Reformasi ternyata hanya menjadi hiasan tumbangnya sebuah rezim.Reformasi hanya menjadi simbol lahirnya sebuah era baru.Sebuah era yang begitu di agungkan dan diyakini untuk menghantarkan Indonesia ke pintu gerbang kejayaan dan kemakmuran. Namun, impian agung akan terciptanya sebuah negara yang dapat mensejahterakan rakyatnya dan mengangkat rakyatnya menuju manusia yang lebih berharkat dan bermartabat hanyalah menjadi metamorfosis kehidupan, kosong, mengambang dan bahkan menambah beban derita masyarakat. Tumbangnya era otoritarian Orde Baru lewat teriakan-teriakan dan hentakan-hentakan yel-yel “reformasi” hanya mampu melahirkan rezim yang seolah-olah reformasi.Kebijakan-kebijakan yang lahir oleh pemerintah yang dihasikan oleh Pemilu 1999,2004 dan 2009 tidak kalah sengitnya dengan rezim orde-baru.Akankah kemudian rezim tiranik orde-baru yang berwatak otoritarian kembali menjadi watak pemerintah bangsa ini atau ataukah rezim-rezim yang lebih tiranik lagi?
            Pertanyaannya kemudian adalah apakah begitu linear garis rezim-rezim disetiap pemerintahan bangsa kita? Rezim-rezim yang haus akan kekuasaan, rezim yang tidak memiliki hati nurani, yang rela menyaksikan sekian penderitaan rakyatnya, dan bahkan kenyataan penderitaan rakyat Indonesia seolah-olah menjadi takdir tuhan semata. Tidak ada lagi air mata yang menetes bagi kaum yang susah hidupnya.Masih segar dalam ingatan pembebasan lahan rakyat demi para pemilik modal. Penderitaan kini menjadi tontonan semata dan kita kemudian menjadi manusia-manusia permisif.
            Apakah kuasa rakyat atas tradisinya tidak bermakna lagi demi pembebasan rakyat itu sendiri?.Foucault (1956) telah mengajari kita bahwa kuasa itu tidaklah tunggal, tidak konsentris tetapi ia mengalir dalam kapiler-kapiler kehidupan baik oleh si patron (penguasa) maupun oleh si klien (rakyat). Artinya kita masih punya potensi besar untuk membuat suatu relasi kuasa makna menjadi bergeser memihak rakyat. Jawaban Lenin demikian juga Tan Malaka dalam perebutan kuasa makna ini adalah “gerakan Revolusioner”.
            Satu sisi kekuatan budaya nasional yang tersari-pati disetiap budaya lokal nusantara yang seharusnya menjadi identitas kejayaan bangsa, namun kemudian relasi sosial budaya yang diciptakan dunia Internasional dengan dibantu negara dan agen-agen social engineering masyarakat diarahkan menjadi konsumen sejati.Loncatan budaya hingga budaya posmodernisme telah mewabah dalam masyarakat Inodnesia.Budaya postmodernisme telah membelenggu dalam “kekinian abadi”.Dalam kondisi ini pemenuhan hasrat akan hal baru semakin membesar dan tenggelam dalam kedangkalan budaya konsumer. Jameson (1999) mengatakan masyarakat konsumer dikendalikan oleh hasrat pemujaan gaya hidup dan penampilan diri. Oleh karena itulah orang tidak perduli apakah hidup hanya sekali, yang penting bagaimana bisa tampil modis dan trendy. Dalam ruang seperti ini tidak ada kreativitas kultural selain menghamba pada citraan-citraan  yang disaksikan lewat televisi. Roda zaman kemudian menggilas masyarakat oleh kejaran-kejaran waktu yang tak bertepi.Tentunya situasi budaya tersebut sangat mengkwatirkan bagi keberlangsungan budaya Indonesia.Mengingat arus deras Globalisasi dan kemajuan teknologi yang melampaui batas-batas suatu negara dan budaya itu sendiri melahirkan sekian problem-problem sosio-budaya.Budaya-budaya lokal yang seharusnya menjadi identitas budaya nasional yang sekaligus menjadi simbol kebesaran bangsa menjadi terancam keberadaannya bahkan keaslian dan eksistensinya kemudian menjadi dipertanyakan.Haruskah budaya Indonesia kita tinggalkan demi sebuah hal/mode  baru? Padahal Ki Hajar Dewantara pernahmengatakan bahwa :Budaya Nasional itu adalah taman dari budaya lokal daerah yang ada”.Artinya, yang dimaksud dengan budaya asli indonesia adalah integrasi dari bermacam ragam budaya dari sabang sampai merauke yang ada dan menyatu menjadi identitas dan jati diri kebangsaan Indonesia.Kalimat yang disampaikan oleh Bapak pendidikan tersebut sangat besar maknanya saya pikir. Memahami budaya sebagai jati diri dan identitas kebangsaan, tentulah harus mengurai ulang peranan dan relasi kuasa yang ada di negeri ini. Tantangannya sekarang ini dimana generasi muda mencerna secara mentah-mentah budaya dari luar tanpa menyaringnya. Terjadi degradasi budaya, pemuda lebih senang lagu-lagu barat, lebih senang K-Pop.
Sekarang ini kita dalam situasi di mana kita mengalami sebuah Degradasi Budaya bahkan kehancuran sistematis budaya lokal. Bhinneka Tunggal Ika sebagai semangat berbudaya dalam rangka kebersatuan berbagai budaya lokal untuk maju dalam frame bangsa dan negara pun hanya sebagai slogan yang kini semakin dilupakan.Tumbuh berkembang serta kemajuan sebuah budaya ditentukan pada bagaimana kita semua merespon dan menjawab tantangan-tantangan budaya global.Respon dan jawabannya adalah agar kita kembali kreatif, inovatif dan menciptakan wilayah-wilayah perjuangan budaya yang mampu menjadi alternatif budaya global yang terbukti tidak memiliki “ruh” kemanusiaan yang utuh.
Ada banyak hal yang dapat dilakukan  dalam rangka mendorong negara yang revolusioner dan salah satunya adalah gerakan pemuda berbasis kebudayaan yang progresif dan revolusione. Dalam artian, dalam setiap momentum kesejarahan dan kebangsaan kita harus harus melakukan bacaan kritis atas situasi global, nasional dan lokal dalam merumuskan setiap sikap gerakan yang akan diambil. Sehingga memperkuat ataupun upaya mendelegitimasi negara diambil berdasarkan situasi Internasional yang mengitarinya. Gerakan ini sebagai pelestari sekaligus menjadi perekat enteitas negara ini. Gerakan ini adalah gerakan rakyat, dimana prosesnya adalah sebuah gerakan penyadaran – penyadaran rakyat dan penciptaan kantong gerakan. Penyadaran masyarakat melalui penanaman nilai-nilai kearifan lokal terhadap generasi muda sejak dini, sejak masih dalam keluarga, dilingkungan RT, RW dan Desa/kampung. Sedangkan penciptaan kantong-kantong gerakan ini adalah melalui pendidikan berbasis kebudayaan. Baik itu di jenjang pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Bukan malah pendidikan berbasis kompetensi, dimana setiap generasi muda saling adu balap lari untuk mendapatkan nilai, menyelesaikan study, dan pendidikan tidak lagi melaksanakan tugasnya untuk memberikan penanaman nilai-nilai kebudayaan bangsa ini, tidak ada lagi kreatifitas kultural. Saya yakin ini BISA dilakukan, jika penentu kebijakan atau pemimpin yang berkuasa berani melaksanakannya. Maka dari itu sangat dibutuhkan sebuah relasi kuasa yang ada dinegeri ini. Siapa yang harus memulai untuk melakukan penyadaran ini...?? jawabannya mari didiskusikan.
Karena memang sekarang ini tantangannya tidak seperti dimasa lalu, ketika gerakan kepemudaan berorientasi pada bidang politik, kaum muda masa kini justru lebih banyak berupa rongrongan budaya global yang sangat berpengaruh pada pola pikir dan gaya hidup mereka sehingga harusnya gerakan kepemudaan kini lebih diorientasikan pada bidang budaya local (local wisdom).Pemuda harus memiliki semangat untuk bersatu, lepas dari penindasan dan penguasaan budaya global.Kita berharap agar bangsa Indonesia bisa menghidupkan kembali budaya-budaya lokal yang ada sehingga nanti terwujud bangsa yang maju berkembang tanpa kehilangan jati dirinya. Kita buka mata dan hati kita, lihatlah bangsa India, Cina, Jepang, Thailand, dan Korea telah membuktikan sendiri. Bangsa yang meninggalkan pola hidup taklid hanya ikut-ikutan, ela-elu.Kini telah tumbuh menjadi macan Asia, dihormati dan segani masyarakat dunia, bangkit meraih kejayaan dengan berlandaskan loyalitasnya terhadap nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) yang terdapat dalam tradisi dan budayanya. Bangsa yang tahu karakter diri sejatinya, sangat tahu tindakan apa yang harus dilakukannya.
Sumpah Pemuda merupakan momentum yang berhasil menyatukan pemuda se-Indonesia dalam satu ikatan kebangsaan, perasaan senasib, sepenanggungan yang diderita oleh pemuda khususnya, telah memberikan kesadaran kritis terhadap situasi yang dihadapinya yaitu adanya sebagai tantangan bersama telah membangkitkan kesadaran kolektif pemuda untuk melawan penindasan budaya global.Diperlukan gerakan massif untuk menghidupkan kembali budaya-budaya lokal (baca; kearifan lokal) di tanah air secara terus menerus sebagai bentuk nyata dari perjuangan kaum muda yang seharusnya terus di dorong. Saya yakin sekarang ini, banyak sekali generasi muda yang lupa akan budayanya. Jangan sampai kita baru tau budaya kita, setelah orang lain atau negara lain mengklaimnya lagi !!!
            Maka saya ingin menyerukan kembali apa yang diutarakan oleh Presiden Soekarno ."Jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Pancasila yang saya usulkan itu menjadi satu realiteit, …janganlah lupa akan syarat untuk menyelenggarakannya, ialah perjuangan, perjuangan, sekali lagi perjuangan. Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia merdeka itu perjuangan kita telah berakhir. Tidak! Bahkan saya berkata: di dalam Indonesia merdeka itu perjuangan kita harus berjalan terus, hanya lain sifatnya dengan perjuangan sekarang. Hari ini tidak pilihan lain selain bergerak maju. Banyak gerakan yang bisa dilakukan dan salah satunya adalah gerakan kebudayaan.Gerakan mengembalikan “ruh” budaya nusantara. Menanamkan nilai-nilai kearifan local yang luhur terhadap diri generasi muda sekarang ini.Menanamkan kembali semangat cinta kepada kebudayaan sendiri.Kita harus memproteksi budaya-budaya luar yang masuk di Indonesia. Saya sangat yakin ini akan berat, namun jika dilakukan secara bersama-sama dan meletakkan kebudayaan sebagai pondasi dasarnya, yakin dan percaya bagaimana pun besarnya gempuran budaya global, itu tidak akan mempengaruhi ke Indonesiaan kita.

Sekian
Terima kasih

  Makalah disampaikan pada acara Dialog Budaya dan Refleksi Kebangsaan “Meneguhkan (kembali) identitas kebhinekaan Indonesia” memperingati HARKITNAS di Pendopo Kantor Gubernur pada Minggu, 20 Mei 2012 oleh ABD RAHIM, S.TP (Ketua Umum IKPMDI YK priode 2010-2012)